JAKARTA, AW-Sebagian besar petani Indonesia berusia tua dengan 42,28% berumur 43-58 tahun dan 27,12% di kisaran 59-77 tahun. Di Jepang juga demikian, bahkan rata-rata usia petani di Negeri Sakura itu 68 tahun. Karena itu, Indonesia dan Jepang memiliki visi yang sama yakni mendorong lebih banyak generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian guna mendongkrak produksi pangan.
Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) Arief Prasetyo Adi mengatakan, Pemerintah Jepang melalui Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan tengah berupaya mencapai swasembada pangan sebagaimana yang tengah dilakukan Pemerintah Indonesia.
“Tantangan yang dihadapi Jepang untuk mencapai swasembada pangan mirip dengan Indonesia, yakni usia petani yang sebagian besar sudah tua,” tutur Arief. Karena itu, Indonesia dan Jepang sepakat berupaya meningkatkan pendapatan petani untuk meraih swasembada pangan.
Arief menuturkan hal itu seusai menerima kunjungan bilateral Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (MAFF) Jepang, Eto Taku di Kantor Bapanas Jakarta, Selasa (29/04/2025). Menurut Arief, karena kondisi Indonesia dan Jepang mirip maka kedua negara sepakat bahwa pendapatan petani menjadi salah satu yang harus dicapai untuk swasembada pangan.
Hal itu karena akan berbanding lurus dengan peningkatan produksi di Indonesia. “Kita diskusi, lebih ke sharing bagaimana me-manage pangan di Indonesia, juga di Jepang, tapi kondisinya kurang lebih sama. Misalnya, petani usianya tua. Menteri Eto Taku juga menyampaikan petani Jepang rata-rata usianya di atas 60 tahun,” ungkap Arief.
Dalam pertemuan terkait ketahanan pangan, Menteri Eto Taku menyampaikan, Jepang baru saja menyempurnakan regulasi untuk mencapai swasembada pangan. Berbagai program subsidi pun dikucurkan ke masyarakat Jepang. “Baik Indonesia maupun Jepang memiliki isu dan tantangan yang cukup banyak. Namun demikian, isu dan tantangan yang sama juga kita miliki. Misalnya, bagaimana mengatasi masalah pendapatan para petani,” jelas dia.
Saat ini, rata-rata usia petani di Jepang 68 tahun, sehingga salah satu tantangan yang harus dilakukan bagaimana menarik minat generasi muda. “Kami memiliki program subsidi 8 Juta Yen untuk lima tahun. Selain itu, (ada juga) pendanaan tanpa bunga dan tanpa batas waktu,” tutur Menteri Eto Taku.
Jepang juga baru saja menyempurnakan kebijakan terkait ketahanan pangan, produksi, aset pertanian, dan sebagainya, pertama dalam 25 tahun terakhir. “Berdasarkan itu, kami akan menambah anggaran untuk mengintensifkan upaya-upaya yang diperlukan dalam rangka memperkuat ketahanan dan swasembada pangan,” jelas dia dalam publikasi Bapanas.
Dalam penerimaan visitasi itu, turut hadir antara lain Sekretaris MAFF Jepang Kawai Kenji, Sekretaris MAFF Jepang Mino Toshikatsu, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masaki Yasuki beserta delegasi lainnya. Sementara dari Bapanas antara lain Plt Sekretaris Utama Bapanas Sarwo Edhy, Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas I Gusti Ketut Astawa, dan Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Bapanas Andriko Noto Susanto.
Perbaiki Citra Petani
Dalam mengatasi sebagian besar petani Indonesia berusia tua maka Indonesia berusaha memberi ruang lebih besar ke generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian. “Citra petani yang sejahtera itu yang harus dibentuk. Menteri Eto Taku juga menyampaikan demikian dan kita di Indonesia saat ini sedang membangun citra baik itu dengan komando Bapak Presiden Prabowo Subianto,” jelas Arief.
Apalagi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan indeks harga diterima petani padi di tahun ini sangat terjaga dan tidak anjlok signifikan, padahal sedang puncak panen raya. “Ini torehan yang positif dan membuktikan kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo benar-benar sangat menjaga kepentingan sedulur petani Indonesia,” tutur Arief.
Kondisi petani Indonesia, menilik hasil Sensus Pertanian BPS 2023, didominasi petani berusia 43-58 tahun sebanyak 42,28%, lalu 27,12% petani 59-77 tahun, serta 26,10% petani milenial 27-42 tahun. Lalu, sebanyak 2,3% petani Gen Z dan 2,19% Gen Pre-Boomer. “Dengan itu, Bapak Presiden Prabowo sangat concern menjaga kesejahteraan petani Indonesia. Menteri Eto Taku juga menjelaskan, Jepang berupaya hingga memberikan subsidi ke petani guna menarik minat generasi mudanya jadi petani,” kata Arief.
Salah satu indikator kesejahteraan petani yang dipakai di Indonesia adalah pergerakan Nilai Tukar Petani (NTP). BPS mencatat, NTP dan NTP Tanaman Pangan (NTPP) pada Maret 2025 yang merupakan puncak panen raya padi memiliki indeks tertinggi jika dibandingkan puncak panen raya dalam tiga tahun terakhir. NTP Maret 2025 adalah 123,72. Sementara NTPP Maret 2025 di 108,95.
Di puncak panen raya tahun ini juga tercatat indeks harga yang diterima petani padi lebih tinggi dibandingkan puncak panen raya 2023 dan 2024, yakni di 137,94. Sementara pada puncak panen raya tahun 2024 yang jatuh pada April, NTP berada di 116,79 dan NTPP 105,54 dengan indeks harga yang diterima petani padi ada di 128,59. Di puncak panen raya tahun 2023 yang terjadi di bulan Maret, NTP di 110,85 dan NTPP 103,83 dengan indeks harga diterima petani padi di 121,55.