JAKARTA, AW-Penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering giling (GKG) mulai digodok, setelah sebelumnya diberlakukan HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 6.500 per kilogram (kg) untuk semua kualitas (any quality) per 24 Januari 2025. Penetapan HPP GKG itu merupakan tindak lanjut terbitnya Inpres No 6 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP).

Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) Arief Prasetyo Adi menuturkan, dalam Inpres No 06 Tahun 2025 termaktub pengadaan beras dalam negeri yang berasal dari GKP, GKG, dan beras dengan HPP. Berangkat dari itu, Bapanas bersama pemangku kepentingan (stakeholder) penggilingan dan perberasan terkait berembuk guna membahas atau membicarakan usulan HPP GKG.

“Setelah pemerintah memastikan harga gabah di tingkat petani dan sudah beres, selanjutnya yang perlu dipastikan adalah harga di tingkat penggilingan dan pedagang. Ini harus lengkap, mulai dari hulu hingga hilir,” jelas Arief Prasetyo Adi dalam persamuhan tersebut yang digelar di Jakarta pada 22 April 2025. Rapat pembahasan penetapan HPP GKG yang dihelat Bapanas itu sebagai tindak lanjut Inpres No 06 Tahun 2025. HPP GKP dan beras telah ditetapkan, namun belum ada ketebalan terhadap penetapan HPP GKG.

Dalam epilog rapat, Arief Prasetyo Adi mengatakan, pihaknya akan merangkum semua usulan dalam rapat bersama para stakeholders tersebut dan disampaikan kepada Kemenko Pangan. “Nanti dibahas dalam rakortas pangan. Apabila nanti diperlukan dibawa ke ratas bersama Bapak Presiden, apa pun yang diputuskan, kita semua harus siap menjalankan. Ini karena beras menjadi salah satu concern Bapak Presiden,” tutur Arief Prasetyo Adi.

Sementara itu, Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas I Gusti Ketut Astawa menegaskan, penetapan HPP GKG diyakini mampu mengakselerasi tingkat serapan Bulog. “Penetapan HPP GKG ini akan mendukung serapan Bulog. Kalau ada peluang untuk serapan GKG sebagaimana Inpres No 06 Tahun 2025 yang sudah dikeluarkan maka penetapan HPP GKG ini memberi ruang kepada Bulog untuk mempercepat serapannya,” ungkap I Gusti Ketut Astawa.

Di forum yang sama, anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mendorong penetapan instrumen harga oleh pemerintah mesti mampu menggambarkan realitas pasar. Dengan begitu dapat memberi proteksi dan penyulut semangat kegiatan produksi bagi petani. “Instrumen kebijakan harga yang akan dibahas itu (mesti) betul-betul mampu menggambarkan bahwa yang terjadi itu adalah pergerakan supply and demand. Instrumen kebijakan harga itu pada intinya ditujukan untuk memproteksi petani, menjamin kesejahteraan petani,” jelas Yeka Hendra Fatika.

Di masa lalu, tepatnya waktu zaman pemerintahan Presiden Soeharto, setiap memasuki Oktober, selalu ada pengumuman harga gabah akan naik. “Nah itu tujuannya untuk memotivasi orang serempak, oh ada kenaikan harga gabah, maka orang (jadi) semangat menanam waktu itu,” jelas Yeka Hendra Fatika dalam publikasi yang dikutip Rabu (23/04/2025).

Bapanas dan para pemangku kepentingan usai rapat usulan HPP GKG. (Foto : Bapanas)

Turut hadir dalam rakor dengan Bapanas itu antara lain Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Bidang Perekonomian Edy Priyono, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso, dan perwakilan dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

Hadir pula perwakilan Serikat Petani Indonesia (SPI), Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Induk Koperasi Pedagang Pasar (INKOPPAS), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (ASPARINDO), dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO).

Jaring Pengaman Petani

Selain membahas usulan penetapan HPP GKG, Arief Prasetyo Adi dalam kesempatan itu menyampaikan dampak positif HPP GKP petani Rp 6.500 per kg. Melalui instrumen HPP GKP Rp 6.500 per kg, pemerintah bersama Perum Bulog telah kembali berhasil menghadirkan jaring pengaman harga bagi petani. Dalam pantauan Panel Harga Pangan Bapanas, rerata harga GKP nasional pada 22 April berada di Rp 6.549 per kg. Berkat upaya penjagaan harga petani tersebut, Nilai Tukar Petani (NTP) pada puncak panen 2025 ini, yakni di Maret 2025, mengalami eskalasi 6,93 poin menjadi 123,72 dibandingkan pada puncak panen 2024 yang jatuh di April 2024. NTP pada April 2024 adalah 116,79.

Khusus capaian NTP Tanaman Pangan (NTPP) saat puncak panen Maret 2025 tercatat 108,95, sementara saat puncak panen 2024 di April kala itu NTPP hanya 105,54. Adapun disebut puncak panen karena pada April 2024 karena produksi beras di bulan itu 5,38 juta ton dan pada Maret 2025 puncak produksi beras diperkirakan dapat mencapai 5,57 juta ton.

“Jadi, meski sudah diberikan HPP GKP Rp 6.500 per kg, itu harga minimal, tapi mohon dengan sangat, bisa disampaikan melalui penyuluh dan teman-teman di lapangan, supaya GKP yang ada itu benar-benar gabah kering panen. Ini karena Bulog membelinya harus berbentuk gabah kering panen, bukan gabah kering pohon, bukan gabah yang hijau atau bukan gabah yang rusak,” tegas Arief Prasetyo Adi.

Arief Prasetyo Adi juga mengatakan, produksi gabah dan beras memang harus terjaga dan jangan sampai shortage karena harga otomatis bisa naik. “Itu kunci yang pertama. Momen saat ini memang waktunya Bulog menyerap. Kemudian nanti lepas dari panen raya, grafiknya akan turun. Nah, itu waktunya kita lepas stok,” tutur dia.

Langkah pemerintah selanjutnya setelah berhasil menjaga harga petani, terutama pada momen kulminasi panen, adalah menjaga daya beli masyarakat. Kelompok masyarakat desil 1 dan 2 wajib disokong taraf hidupnya. “Dengan HPP GKP, pada saat produksi tinggi, biasanya harga petani jatuh. Itu yang kita jaga dengan Bulog serap semaksimal mungkin, supaya petani terlindungi. Lalu, penetapan HPP GKG perlu juga untuk membantu penggilingan dengan dryer kapasitas kecil. Kita ingin bagaimana setiap penggilingan padi bisa berkompetisi sehat dan efisiensi agar bisa diserap pemerintah,” jelas Arief Prasetyo Adi.

Selanjutnya, yang perlu dijaga itu adalah daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah. “Itu yang dijaga, khususnya yang termasuk desil 1 dan 2. Itu ada kurang lebih 20 juta. Pemerintah perlu melindungi dengan menciptakan harga yang baik, sehingga daya beli pun terjaga,” tandas Arief Prasetyo Adi.