JAKARTA, AW-Ketelanjuran perkebunan di kawasan hutan bukan salah pemilik usaha sawit, melainkan efek dari perubahan peraturan dari pemerintah. Karena itu, penyelesaian perkebunan sawit di kawasan hutan bukan mengedepankan sanksi pidana, melainkan menuntaskan lebih dahulu sisi administrasinya.

Saat ini, pelaku usaha di sektor sawit ketakutan dipanggil aparat penegak hukum, hal tersebut kemudian menyebabkan investasi sawit menjadi tanpa ada kepastian hukum.

Ihwal ketelanjutan perkebunan sawit di kawasan hutan dimulai sejak Indonesia merumuskan UU Cipta Kerja yang diyakini bisa meningkatkan daya saing investasi RI usai pandemi Covid-19. Jika sudah recovery pascapandemi, banyak negara yang berlomba-lomba memberikan kemudahan berinvestasi, kalau Indonesia saat itu terlampau berbelit-belit dikhawatirkan tidak akan bisa berkompetisi.

“Dalam prosesnya, di situ ditemukan di industri sawit terdapat ketelanjuran jumlahnya 3,5 juta hektare (ha) lahan. Itu data dari Kementerian Kehutanan. Bagaimana cara menyelesaikannya? Kan tidak bisa yang seperti itu kita lepas, faktanya juga kita memungut pajak dari mereka, kita dapat feedback dari dana ekspor. Akhirnya kita carikan solusi dengan melakukan pemutihan terhadap ketelanjuran,” ujar Firman terkait akar masalah 3,5 juta ha lahan sawit ilegal lewat keterangan yang dikutip Rabu (02/04/2025).

Pemutihan yang diusulkan berupa legalisasi lahan sawit yang dikategorikan ilegal. Namun setelah DPR bersama pemerintah melakukan penyisiran data, terdapat setidaknya tiga pengelompokan data terkait kepemilikan lahan sawit di atas 3,5 juta ha tanah yang terindikasi ilegal.

Pertama, ada kelompok petani yang juga bagian dari petani-petani yang mendapatkan program transmigrasi di zaman Presiden Soeharto kemudian setelah reformasi telantar dan ini menjadi tidak bertuan, tidak ada izin, dan sebagainya. “Ini yang kita putihkan. Namun ketika itu, ada petani dengan kepemilikan luasan lahan mencapai 100 ha meminta pemutihan. Kami enggak mau! Kalau 100 ha itu bukan petani, sudah masuk kategori pengusaha,” tegas Firman.

Sebagai solusi, DPR menggunakan terminologi yang ada di UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, bahwa kepemilikan lahan yang dikategorikan sebagai petani maksimal adalah 2 ha. “Tetapi dalam kasus sawit ini, akhirnya DPR menyepakati jumlah minimal kepemilikan lahan petani adalah 5 ha, lebih dari itu dikenai sanksi administrasi yaitu denda,” tutur Firman.

Sanksi bagi Kelompok Ketiga

Kedua, ada kelompok pelaku usaha yang sudah memproses izinnya dan boleh menanam sambil menunggu hak guna usaha (HGU). Tetapi, muncullah Surat Keputusan Menteri Kehutanan di era Zulkifli Hasan tentang penetapan kawasan hutan. SK tersebut lantas memuat lahan sawit yang kadung memproses izin sebagai kawasan hutan.

Lahan sawit yang ditanam oleh perusahaan itu tiba-tiba masuk di kawasan hutan. “Entah bagaimana itu ceritanya. Seperti itu kan bukan kesalahan pengusaha, itu adalah sebab akibat dari kebijakan pemerintah. Maka, tidak fair bila mereka dikenai sanksi besar. Karena itu, diberikan pengampunan dalam bentuk sanksi denda,” tutur politisi senior Partai Golkar itu.

Firman Soebagyo yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia itu melanjutkan, seharusnya pemerintah memberikan concern penindakan dan pemberlakuan sanksi kepada kelompok ketiga, yakni perusahaan sawit yang menabrak aturan dan tak memproses izin tanam. “Mereka tahu itu kawasan hutan, tapi tetap memaksa menanam di situ. Ini yang harus dikenai sanksi seberat-beratnya, sanksi denda dan kemudian diberi kesempatan dua siklus panen, setelah itu lahan wajib dikembalikan ke negara,” papar Firman.

Terkait persoalan kelompok kedua yang menjadi ketelanjuran antara proses administrasi dan perizinan yang telah berjalan dengan kebijakan penetapan kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan sebenarnya telah berusaha diselesaikan oleh pemerintahan yang lalu.

Bahkan, saat itu diberikan rentang waktu tiga tahun bagi kementerian/lembaga (K/L) terkait yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk meretas persoalan tersebut, namun tak kunjung selesai. Untuk mengatasi persoalan itu diberikan waktu kepada pemerintah untuk menyelesaikan selama tiga tahun. Namun ketika itu KLHK tidak mampu menyelesaikan dalam waktu tiga tahun.

“Dengan masalah 3,5 juta ha ini, di rentang waktu tiga tiga tahun relatif mudah kalau ada keseriusan. Akhirnya berlarut-larut sampai pergantian pemerintahan baru tidak bisa selesai, tiga tahun masa berlakunya habis, maka saat ini Presiden Prabowo Subianto membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH),” tutur Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI tersebut.