JAKARTA, AW-Sebanyak empat negara produsen dunia, yakni Filipina, India, Thailand, dan Sri Lanka, sudah menerapkan larangan ekspor kelapa bulat. Kebijakan larangan ekspor kelapa bulat tersebut bertujuan untuk menjaga nilai tambah ekonomi kelapa, lapangan pekerjaan, dan keberlangsungan industri pengolahan di dalam negeri. Sementara itu, Indonesia sama sekali belum memiki kebijakan tata niaga untuk komoditas tersebut, termasuk dalam bentuk larangan ekspor kelapa bulat.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan, Indonesia adalah negara penghasil kelapa lima besar dunia. Namun, Indonesia hingga kini belum memiliki kebijakan tata niaga bahan baku kelapa, seperti pelarangan ekspor, pungutan ekspor, serta larangan dan pembatasan (lartas).
“Sementara itu, negara-negara produsen kelapa dunia lainnya, seperti Filipina, India, Thailand, dan Sri Lanka, telah menerapkan kebijakan larangan ekspor kelapa untuk menjaga nilai tambah ekonomi kelapa, lapangan pekerjaan, dan keberlangsungan industri pengolahan kelapa,” kata Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita saat menanggapi aspirasi Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) dalam rangka membahas kelangkaan bahan baku industri pengolahan kelapa di Kantor Kementerian Perindustrian Jakarta pada 30 April 2025.
Menperin Agus mengemukakan, sejak program hilirisasi kelapa dicanangkan telah berhasil menarik investasi dari berbagai negara, termasuk Malaysia, Thailand, China, dan Sri Lanka, namun saat ini perusahaan-perusahaan tersebut justrukesulitan beroperasi karena kelangkaan bahan baku kelapa.
Kelapa Indonesia kini lebih cenderung diekspor dalam bentuk kelapa bulat karena belum ada regulasi tata niaganya. “Eksportir tidak dipungut pajak, sedangkan industri dalam negeri membeli kelapa dari petani dikenai pajak PPh pasal 22. Dengan situasi itu, playing field antara eksportir dengan industri kelapa dalam negeri menjadi tidak sama,” ungkap Menperin Agus dalam publikasi yang dikutip Sabtu (03/05/2025).
Saat menerima audiensi HIPKI, Menperin Agus menangkap aspirasi pelaku usaha yang tergabung dalam HIPKI bahwa industri pengolahan kelapa mempunyai kepentingan yang sama untuk mengutamakan kesejahteraan petani kelapa.

(Foto : Kementerian Perindustrian)
Hal itu juga mendukung keberlanjutan kegiatan usaha berbasis kelapa dengan menjaga petani tidak beralih ke komoditas lain karena akan berdampak kepada kegiatan usaha berbasis kelapa yang keadaannya saat ini sulit akan menjadi semakin sulit. Terkait itu, Menperin Agus terus berkoordinasi secara intensif bersama pelaku usaha dan asosiasi kelapa untuk mencari solusi supply and demand kelapa dengan tetap mengedepankan kesejahteraan petani.
Kebutuhan 2 Miliar Butir Kelapa
Selain memuat penerapan larangan ekspor kelapa bulat oleh Filipina, India, Thailand, dan Sri Lanka, publikasi tersebut juga menyatakan, kebutuhan konsumsi Indonesia, utamanya untuk rumah tangga dan industri kecil dan menengah (IKM), sekitar 2 miliar butir kelapa per tahun.
Karena sekarang kelapa banyak diekspor ke negara lain maka terjadi kekurangan suplai kelapa di pasar-pasar tradisional sehingga menyebabkan kenaikan harga dan konsumen rumah tangga menjadi korban atas kenaikan harga tersebut.
Ekspor dalam bentuk kelapa bulat dari Indonesia ke negara lain dikhawatirkan menggeser pasar produk hilir kelapa Indonesia yang selama ini kuat di pasar global dan diisi oleh produk hilir kelapa dari negara kompetitor yang bahan bakunya dari Indonesia. Produk-produk yang dimaksud antara lain minyak kelapa, desiccated coconut, nata de coco, konsentrat air kelapa, arang aktif, dan briket.
Pangsa pasar ekspor produk kelapa RI pada 2024 sebesar US$ 2 miliar dengan 85% di antaranya produk olahan kelapa. Apabila kondisi kelangkaan bahan baku yang melanda industri pengolahan kelapa terus berlanjut, negara dapat berpotensi kehilangan devisa hasil ekspor industri pengolahan kelapa dan dikhawatirkan berdampak kepada sekitar 21 ribu pekerjanya.