JAKARTA, AW – Eksportir beras Asean dikabarkan sedang ketar-ketir dengan melimpahnya pasokan dari India, Indonesia, dan beberapa negara produsen di Asia lainnya. Sebab, pasokan yang berlimpah bukan saja memicu harga beras dunia anjlok tajam ke titik terendah dalam beberapa tahun terakhir, namun juga membuat negara-negara tujuan ekspor, terutama Indonesia, berhasil keluar dari ketergantungan impor. Indonesia bahkan disebut bakal mencetak rekor produksi beras tertinggi se-Asean.
Selama ini, eksportir beras Asean dengan volume besar adalah Thailand, Vietnam, dan Kamboja. Merujuk Rice Outlook Edisi April 2025 dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), Indonesia menunjukkan performa luar biasa. Produksi beras Indonesia pada musim 2024/2025 mencapai 34,6 juta ton beras giling, tertinggi di Asean sekaligus menempatkan Indonesia sebagai produsen terbesar di kawasan, melampaui Vietnam dan Thailand.
Di sisi lain, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) juga mencatat produksi beras global 2024/2025 mencapai rekor tertinggi sebesar 543,6 juta ton. Jika ditambah stok sebelumnya, total pasokan global menembus 743 juta ton, jauh di atas kebutuhan konsumsi dunia yang hanya 539,4 juta ton.
India per 1 April 2025 mencatatkan stok beras dan gabah pemerintah 63,09 juta ton, lima kali lipat dari target 13,6 juta ton. India diprediksi meningkatkan ekspor hingga 25%, mencapai 22,5 juta ton di 2025, ini membuat India menguasai lebih dari 40% pangsa ekspor global, melampaui gabungan ekspor dari Thailand, Vietnam, Pakistan, dan Amerika Serikat.
Dalam publikasi Kementerian Pertanian (Kementan) yang dikutip Jumat (09/05/2025) disebutkan, kondisi anjloknya harga beras dunia dalam beberapa tahun terakhir dikabarkan telah mengguncang eksportir besar, seperti Thailand, Vietnam, dan Kamboja, yang mengandalkan pasar tradisional, termasuk Indonesia. Ketiga eksportir beras Asean itu mengalami tekanan berat. Namun demikian, di tengah tekanan global tersebut, Indonesia justru mencetak tonggak sejarah dengan mencatatkan rekor produksi tertinggi dan berhasil keluar dari ketergantungan impor beras konsumsi.
Berhasil Akhiri Impor dan Buat Eksportir Beras ASEAN Cemas
Berbanding terbalik dengan negara eksportir yang kini menghadapi tantangan besar, Indonesia justru sedang di atas angin. Menurut Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, stok cadangan beras pemerintah (CBP) menembus angka 3,5 juta ton per Mei 2025, tertinggi dalam 57 tahun terakhir, seluruhnya berasal dari produksi lokal tanpa tambahan impor beras medium. Prestasi ini merupakan hasil nyata dari strategi intensifikasi dan ekstensifikasi yang dijalankan pemerintah, termasuk percepatan tanam, pompanisasi, hingga penggunaan benih unggul.
Mentan Amran juga mengatakan, Bulog juga berperan penting dalam menyerap produksi petani. Hingga Mei 2025, Bulog telah menyerap 1,8 juta ton beras dari petani, menjadi penyangga utama ketahanan pangan nasional. Pemerintah menyatakan bahwa produksi dalam negeri kini telah melampaui kebutuhan nasional, sehingga Indonesia tidak lagi melakukan impor beras konsumsi pada 2025.
Impor hanya dilakukan secara terbatas untuk keperluan khusus seperti hotel, restoran, dan kafe. “Alhamdulillah, hari ini kita buktikan bahwa Indonesia bisa kuat stok berasnya. Ini bukan hanya soal angka, tapi soal kedaulatan dan martabat bangsa,” tegas Mentan Amran.
Keberhasilan itu, lanjut Mentan Amran, adalah buah kerja keras seluruh jajaran, mulai dari petani, penyuluh, pemerintah daerah, hingga dukungan penuh dari Presiden RI Prabowo Subianto. “Kami bergerak cepat dengan strategi pompanisasi, mekanisasi, dan penyediaan benih unggul. Hasilnya nyata, yakni kita tidak lagi impor beras konsumsi dan stok kita tertinggi dalam sejarah,” tambah Amran.
Dengan Indonesia mencetak rekor produksi maka Indonesia juga mengakhiri impor beras konsumsi. Indonesia sebelumnya merupakan pengimpor beras terbesar kelima dunia pada 2023, dengan total impor 3,06 juta ton. Mayoritas diimpor dari Thailand (1,38 juta ton atau 45,12%) dan Vietnam (1,15 juta ton atau 37,47%).
Anjloknya harga beras dunia menjadi peringatan keras bagi eksportir seperti Thailand, Vietnam, dan Kamboja untuk segera beradaptasi dengan dinamika pasar. Di sisi lain, situasi itu adalah momentum emas bagi Indonesia untuk memperkuat posisi sebagai negara mandiri pangan dan bahkan bersiap menjadi eksportir di masa depan. Namun, pemerintah tetap harus mewaspadai tantangan jangka panjang seperti perubahan iklim, penurunan luas lahan pertanian, dan fluktuasi pasar global.
Penguatan teknologi pertanian, pengelolaan air, dan infrastruktur distribusi menjadi kunci mempertahankan pencapaian ini. Artinya, anjloknya harga beras dunia memberikan tantangan sekaligus peluang. Kunci untuk menjadikannya peluang adalah ketahanan dan kolaborasi. “Ke depan, kami akan perkuat lagi petani kita agar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bukan tidak mungkin, Indonesia jadi pengekspor beras,” ujar Mentan Amran optimistis.
Banjir Pasokan Beras
Penurunan harga global dimulai sejak India mencabut larangan ekspor gandum pada 2022. Langkah itu disusul dengan peningkatan tajam produksi dan ekspor beras, sehingga menekan harga beras ekspor India ke titik terendah dalam 22 bulan. Harga beras di Thailand pun jatuh ke level terendah dalam tiga tahun, sementara Vietnam mengalami harga terendah dalam hampir lima tahun.
Laporan Reuters, seperti dirujuk oleh publikasi Kementan, harga beras global kini telah turun sepertiga dibandingkan puncaknya pada 2024. Presiden Asosiasi Eksportir Beras India BV Krishna Rao menyebutkan, harga 5% broken rice diperkirakan bertahan di kisaran US$ 390 per ton hingga akhir tahun karena membanjirnya pasokan.
Thailand yang selama ini menjadi eksportir andalan kawasan, kini mengalami tekanan hebat. Harga murah beras India membuat ekspor Thailand pada kuartal I-2025 anjlok hingga 30%, menjadi hanya 2,1 juta ton. Sepanjang 2025, ekspor diperkirakan turun 24% menjadi 7,5 juta ton. Penurunan harga gabah domestik sebesar 30% pada Februari 2025 memicu gelombang protes dari petani Thailand. Pemerintah setempat berupaya mengatasi gejolak itu dengan mengusulkan kerja sama bersama India dan Vietnam untuk menstabilkan harga dan melindungi petani lokal.
Vietnam yang sebelumnya sukses mengekspor 8 juta ton beras pada 2023, kini juga menghadapi tekanan akibat membanjirnya beras murah India dan hilangnya pasar Indonesia. Ekspor Vietnam diprediksi turun 17% menjadi 7,5 juta ton di 2025. Dalam Forum Ekonomi Beras Asean di Hanoi pada Maret 2025 lalu, Mentan Vietnam Le Minh Hoan menyatakan, Vietnam tengah berupaya memperluas pasar ekspor ke Timur Tengah dan Afrika serta mendorong ekspor beras premium untuk bertahan di tengah persaingan harga yang ketat.
Hal serupa terjadi di Kamboja. Dalam pertemuannya dengan Presiden RI Prabowo Subianto di Jakarta pada 5 Mei 2025 lalu, Presiden Senat Kamboja Hun Sen menyatakan, Kamboja kini kehilangan pasar penting karena Indonesia tidak lagi mengimpor beras. Hun Sen mengapresiasi keberhasilan Indonesia dalam ketahanan pangan, namun menegaskan bahwa lonjakan produksi domestik Indonesia berdampak pada pasar regional. Kamboja kini berusaha mencari pasar baru ke Eropa dan Asia Timur untuk menyerap kelebihan stok beras, meski harus bersaing dengan harga murah dari India dan Vietnam.